Kekerasan merupakan salah satu
budaya yang dipakai untuk mengajar anak dalam rumah tangga, hal ini mungkin
sudah berlangsung sejak lama. Orangtua
cenderung memakai cara ini sebagai jalan terakhir ketika tidak dapat menemukan
cara pengajaran yang sempurna atau lebih tepat untuk mengajar anak-anak mereka.
Kemungkinan praktek kekerasan terhadap anak akan lebih besar saat si anak memang
tidak dapat diajarkan (susah mengerti/menurut) dengan cara pengajaran yang baik
dan sewajarnya. Kelakuan anak yang sedikit atau bahkan sulit diatur akan mudah
menyulut emosi orangtua, terlebih jika orangtua tersebut memiliki banyak beban
dan pikiran. Hal tersebut akan memudahkan kekerasan terjadi karena emosi seseorang akan mudah tersalurkan
lewat kekerasan. Namun, terkadang kekerasan tersebut bisa melewati batas ambang
kewajaran, bukan tidak jarang terjadi kekerasan dalam rumah tangga terhadap
anak sering merenggut nyawa, baik itu nyawa anak sendiri atau bahkan nyawa
orangtua akibat timbulnya amarah di hati si anak terhadap perlakuan orangtuanya
tersebut.
Kekerasan
terhadap anak dalam rumah tangga bukan hanya berbentuk kekerasan fisik,
sebenarnya orangtua yang menggunakan suara yang keras dalam mengajarkan anak
juga termasuk kekerasan. Memang benar
bahwa terkadang cara ini dapat membangun karakter anak ke arah yang lebih baik
sebab beberapa anak akan tahu hal yang telah diperbuatnya memang salah sehingga
dia tidak mengulanginya lagi. Dalam kasus seperti ini, kekerasan dalam rumah
tangga mungkin tidak akan berlangsung lama sebab si anak menjadi lebih selektif
dalam bersikap sehingga tidak akan terulang kejadian yang sama. Namun, hal
tersebut sangat kecil kemungkinannya.
Fakta
di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan tidaklah efektif dalam mengajarkan
anak. Biasanya mental anak relative masih labil dan sedang dalam proses
perkembangan, dalam keadaan inilah sebenarnya kekrasan tidak layak dilakukan
karena akan memengaruhi perkembangan anak ke depannya, dan perkembangan yang
terjadi justru bukan ke arah yang lebih baik melainkan menimbulkan konflik di
hati si anak. Hal yang terjadi bisa menimbulkan dua dampak buruk, yaitu yang
pertama anak menjadi tidak kreatif, pengecut, dan takut berbuat, yang kedua
adalah anak menjadi superaktif, ingin selalu berontak, serta selalu melakukan
proses perlawanan. Memang cara kekerasan dapat memberi efek jera terhadap anak,
tetapi hal ini justru membuat dia takut berbuat sehingga ketakutan yang
melingkupinya menyebabkan dia menjadi pendiam atau bahkan sulit bergaul,
anak-anak tersebut lebih memilih tidak melakukan apa-apa daripada akan mendapat
kosekuensi kekerasan dari orangtua.
Dewasa
ini, kerap terdengar begitu banyak pengangguran, orang-orang yang tidak
bersekolah, gelandangan, pengamen, dan anak-anak terlantar. Sebagian dari
mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga
sehingga mereka tidak betah dan akhirnya berontak yang kemudian memilih untuk keluar
dari rumah tangga mereka. Banyak orang yang memilih cara yang sama saat
mendapat perlakuan kekerasan, dapat dipastikan bahwa orang-orang seperti ini
akan sedikit mendapat perhatian dan pengajaran sehingga mereka diperalat oleh
oknum-oknum tertentu untuk melakukan aksi mereka (oknum tersebut), sebagai
contoh kasus bom bunuh diri yang marak terjadi akhir-akhir ini.
Kekerasan
rumah tangga tentu berandil besar terhadap kekerasan dalam lingkungan kita.
Hal-hal yang didapatkan anak dari orangtuanya itu bisa jadi diaplikasikan si
anak dalam kehidupannya sehari-hari, terutama anak-anak yang telah memilih
meninggalkan rumah tangganya sehingga memaksa mereka harus melakukan tindak
kekerasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan demikian, kita sebagai mahasiswa/I
yang nantinya menjadi orangtua dapat mengambil pelajaran dari situasi tersebut.
Kuncinya adalah melalui kita, semakin besar tindak kekerasan yang kita lakukan
terhadap anak-anak kita, semakin besar
pula kita menyumbang andil kekerasan dalam lingkungan kita (Negara kita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar